buat yang punya tugas membuat makalah ni gw punya makalahx yaitu tentang HADIST
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sudah merupakan kesepakatan
kaum muslimin bahwa al-Hadits merupakan sumber syariat islam kedua setelah
al-Qur-an. Oleh karena itu mempelajari hadits-hadits Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wasallam- merupakan kewajiban sebagaimana mempelajari
al-Qur-an.Demi menyempurnakan pengkajian kita terhadap hadits-hadits Nabi
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan memudahkan dalam menelaah
sunnah yang diwariskan oleh beliau, serta mampu memilah antara yang shahih dan
yang dha’if dari hadits dan sunnah tersebut, maka dibutuhkan wasilah
khusus yang bisa merealisasikan hal tersebut, wasilah tersebut
adalah ‘Ulumul Hadits.
‘Ulumul Hadits merupakan ilmu mulia,
barang siapa yang mahir dalam disiplin ilmu ini, maka sungguh telah mendapatkan
kebaikan yang besar, karena ilmu ini merupakan kunci pokok untuk mempelajari
hadits-hadits Nabi, barangsiapa yang mempelajarinya maka akan banyak
berinterakasi dengan sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga sangat berpotensi untuk
lebih mengenal sunnah beliau, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terbangun
sebuah kemampuan yang luar biasa, yaitu keahlian dalam memilah hadits shahih
dan hadits dhaif. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai urgensi kajian ulumul hadits.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa masalah berikut:
1. Apa sajakah tujuan mempelajari
ulumul hadits?
2. Apa manfaat mempelajari ulumul
hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan mempelajari ulumul hadits.
Ulumul hadist merupakan ilmu yang
penting dalam mempelajari ilmu hadist.Ilmu ini merupakan hal yang penting untuk
menjadi seorang ahli hadits yang mumpuni. Selain itu, pentingnya
mempelajari hadits disebabkan juga oleh beberapa hal berikut ini:
1. Hadits berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.
Alqur’an dan hadist sebagai sumber
hukum dalam islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Al
qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar
yang bersifat umum bagi syari;at islam, tanpa perincian secara detail. Kecuali
yang sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak pernah
berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak pula berkembang karena
keragaman pengetahuan dan lingkungan. Karena keadaan al qur’an yang demikian
itu, maka hadist sebagai sumber hukum yang kedua setelah al qur’an , tampil
sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat al qur’an yang masih bersifat
global, menafsirkan yang masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi
yang mutlak (muqayyad), mengkhususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan
hukum-hukum serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukum-hukum
yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh al qur’an. Hal ini sejalan dengan
firman Allah yang artinya: “ Dan Kami turunkan kepadamu Al qur’an , agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” ( Q.S An Nahl : 44)
2. Banyaknya hukum yang belum tercantum
dalam Al-qur’an.
ü Taqyid (pembatasan) terhadap
kemutlakkan Al-qura’an.
Kata “tangan” dalam ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah
kamu potong tangan mereka” adalah muthlaq. Yang disebut tangan adalah sejak
dari jari-jari sampai dengan pangkal tangan. Kemudian As sunnah membatasi
potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku-siku atau pangkal lengan.
3. Potensi pemalsuan hadits sangat
besar, sehingga perlu dijaga keotentikannya.
Pada zaman kekhalifahan Ali bin abi
thalib munculahberbagai macam golongan. Setiap golongan dari mereka merasa
menjadi yang paling benar. Mereka selalu ingin berusaha untuk tetap
berpengaruh. Untuk meyakinkan semua itu mereka mencari dalil-dalil yang bisa
menguatkan kelompok mereka, bahkan sampai membuat hadist-hadist palsu.
4. Terdapat banyak hadits dla’if dan
hadits palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum
Islam.
Ilmu ini akan membentengi kaum
muslimin dari rongrongan hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak merebak di
tengah umat, dan menjaga syariat yang murni ini dari maraknya kesyirikan dan
bid’ah yang tumbuh dengan subur di tengah kaum muslimin disebabkan beredarnya
hadits lemah dan palsu diantara mereka, serta akan menanamkan urgensi
berpegangteguh dengan hadits-hadits Nabi yang shahih dalam membangun agama, baik
dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalah.Kemudian Imam Syafi’i
juga berkata, “Demi umurku. Ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling
kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari selain oleh orang-orang
jujur lagi taqwa, dan tidak dibenci selain oleh orang-orang munafiq”.Al Hakim
juga menandaskan, “Andaikata tidak banyak orang yang menghafal sanad hadits,
niscaya menara Islam roboh dan niscaya para ahli bid’ah berkiprah membuat
hadits palsu (maudhu’) dan memutarbalikkan sanad”.
5. Adanya berbagai macam masalah
mengenai hadist.
Dewasa ini mulai muncul masalah
mengenai hadist,hal ini datang dan timbul dari periwayat hadist yang bernama
Abu hurairah. Abu hurairah merupakan salah satu sahabat yang tergolong singkat
kebersamaannya dengan Rasulullah SAW namun hadist yang diriwayatkan tergolong
cukup banyak. Sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang non muslim yang
mempelajari is;am untuk melemahkan hadist.
B. Manfaat mempelajari ulumul hadist.
Mempelajari ilmu hadits paling tidak
akan mendapatkan tiga sasaran utama:
a.
agar seseorang memiliki dasar
pengetahuan tentang suatu hadits yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak
memiliki sandaran.
b. seseorang akan mengetahui mana
hadits dan mana yang bukan hadits.
c.
seseorang akan mendapatkan ilmu
pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat diterima sebagai hujah (maqbul)
ataukah tertolak (mardud) .
d. Ilmu ini akan memberikan bekal bagi
para penuntut ilmu syar’i untuk mengkaji hadits-hadits Rasulullah –shallallahu
wa sallam-, sebab semua cabang ilmu syar’i membutuhkan pengetahuan terkait
disiplin ilmu ini, seorang ahli tafsir, seorang faqih, dan seorang ahli aqidah
membutuhkan hadits-hadits shahih dalam beristidlal, dan kemampuan untuk memilah
hadits shahih dan dha’if terbangun dengan ilmu ini.
e. Membekali penuntut ilmu hadits
-secara khusus- kunci pengetahuan terkait dasar-dasar periwayatan,
syarat-syarat diterima dan ditolaknya hadits, mengenal para perawi terpercaya
dan perawi yang ditolak riwayatnya dan lain sebagainya.
f. Memberikan kemampuan untuk mengenal
metodologi para ulama dalam menyaring hadits-hadits Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam-, dan memisahkannya antara yang shahih dan yang
dha’if.
g. Mengetahui juhud (upaya) para ulama
dalam menuntut ilmu ini dan mengajarkannya dari generasi ke generasi, dan
merenungi pengorbanan mereka dalam menjaga kemurnian hadits-hadits Rasulullah,
sehingga memompa semangat kita dalam menuntut ilmu syar’i, mengajarkan dan mendakwahkannya
kepada generasi berikutnya.
h. Mengenal kota-kota yang menjadi
markaz ilmu hadits, dan negeri yang menjadi pusat rihlah dalam menuntut
ilmu tersebut, seperti kota Mekah, kota Madinah, kota Khurasan, kota Baghdad,
kota Bashrah, kota Mesir dan lain sebagainya.
i.
Mengenal para pakar hadits dari
zaman ke zaman, sejak zaman sahabat sampai zaman ini, dan berupaya menelaah
sirah (profil) mereka untuk memetik faedah dari manhaj (metodologi) mereka
dalam menuntut ilmu, mengetahui adab mereka dalam menuntutnya, serta menilik
upaya mereka dalam mengejawantahkan ilmu tersebut dalam amal nyata
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan.
Dari makalah sederhana ini dapat
penulis simpulkan bahwa, tujuan untuk mempelajari ulumul hadist adalah hadist
berfungsi untuk menjelaskan Al-Qura’an, banyaknya hukum yang belum tercantum
dalam Al-Qur’an, potensi tiap golongan dari mereka macam hadits sangat besar
sehingga perlu dijaga keotentikkannya, terdapat banyak hadits dla’if dan hadist
palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum Islam,
adanya berbagi macam masalah mengenai hadist.
Sedangkan manfaat dari mempelajari
ulumul hadist yaitu agar seseorang memiliki dasar pengetahuan tentang suatu
hadits yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak memiliki sandaran, seseorang
akan mengetahui mana hadits dan mana yang bukan hadits, seseorang akan
mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat diterima
sebagai hujah (maqbul) ataukah tertolak (mardud), Ilmu ini akan
memberikan bekal bagi para penuntut ilmu syar’i untuk mengkaji
hadits-hadits Rasulullah –shallallahu wa sallam.
B. Saran dan Kritik
Saran dan kritik sangat penulis
harapkan demi perbaikan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
berguna bagi penulis pada khususnya, dan pembaca sekalian pada umumnya. Amiin.
Cara Meneliti Hadits
BAB
I
PENDAHULUAN
A.. Latar Belakang
Hadits Nabi adalah sumber ajaran
Islam kedua. Dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Qur’an.
Untuk al-Qur’an, semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan
hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi
berlangsung secara ahad. Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan ada
mardud dan dhoif dan lainya. Namun, dalam al-Qur’an tidak mengenal hal semacam
itu karena periwayatan al-Qur’an adalah mutawatir yang tidak mungkin diragukan
isinya.
Tetapi dalam hadits kita harus
cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya,
karena kualitas hadits akan berpengaruh pada hukum Islam.
Penelitian ini bukan bermaksud untuk
meragukan keseluruhan hadits Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian (al-ihtiyath)
dalam pengambilan dasar hukum. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin
mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya. Hal semacam itulah
yang menyebabkan pengkajian hadits tidak hanya menyangkut kandungan dan
aplikasinya saja, tetapi juga segi sanad, matan dan periwayatannya. Di sinilah
Ulama’ hadits sangat berhati-hati dalam melakukan periwayatan. Sehingga segala
sesuatu yang berkenaan dengan materi hadits menjadi sangat besar manfaatnya
bagi penelitian kualitas hadits.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sanad dan Matan
Kata sanad menurut bahasa berarti
sandaran; yang dapat dipegangi atau dipercayai; kaki bukit atau kaki gunung.
Sedangkan menurut istilah adalah:
هو طريق المتن, اى سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الاول
هو طريق المتن, اى سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الاول
“Sanad adalah jalan yang
menyampaikan pada Matan, yaitu rangkaian para periwayat yang mengutip ma tan
dari sumber pertamanya.”
Adapun pengertian dari Matan menurut bahasa adalah punggung jalan; atau tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
Adapun pengertian dari Matan menurut bahasa adalah punggung jalan; atau tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
“Matan adalah ungkapan-ungkapan
hadits yang menunjukkan maksud hadits tersebut”
Selain istilah sanad dan matan
seperti yang telah diuraikan di atas, perlu pula diketahui istilah Rawi. Yang
dimaksud Rawi adalah “ orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu
kitab apa yang pernah didengar atau diterima dari seseorang (gurunya).
Perbuatan menyampaikan hadits
tersebut dinamakan me-rawi (riwayat) kan hadits. Sebagai contoh dari sanad,
matan dan rawi bisa dilihat pada contoh hadits berikut:
روى الامام البخارى قال: حدثنا محمد
بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا ايوب, عن أبى قلابة, عن أنس عن
النبى ص.م. قال: ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله أحب اليه
مما سواهما, وان يحب المرء لايحبه الا الله, وان يكون ان يعود فى الكفر كما يكره
ان يقذف فى النار
Dari hadits di atas, kita temukan
bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan oleh beberapa orang rawi, yakni:
1. Anas sebagai rawi pertama
2. Abi Qalabah sebagai rawi kedua
3. Ayyub sebagai rawi ketiga
4. Abdul wahhab Al-Tsaqafi sebagai rawi keempat
5. Muhammad ibn Al-Mutsanna sebagai rawi kelima
6. Imam Bukhari sebagai rawi terakhir (pentakhrij)
2. Abi Qalabah sebagai rawi kedua
3. Ayyub sebagai rawi ketiga
4. Abdul wahhab Al-Tsaqafi sebagai rawi keempat
5. Muhammad ibn Al-Mutsanna sebagai rawi kelima
6. Imam Bukhari sebagai rawi terakhir (pentakhrij)
Adapun deretan kata-kata mulai dari
:حدثنا محمد بن المثنى sampai dengan kalimat
عن النبى ص.م. قال itulah yang dinamakan
sanad
Untuk contoh hadits di atas, matan
haditsnya adalah rangkaian kalimat mulai dari ثلاث من
كن فيه sampai ان يقذف فى النار.
Dalam penulisan ilmiah, seyogyanya, selain ditulis matan hadits dimaksud, juga
ditulis nama rawi terakhir (pentakhrij) dan rawi pertamanya (sanad terakhir).
Umpamanya untuk penulisan hadits di atas, setelah menulis matannya, kemudian
ditulis kalimat: رواه البخارى عن أنس.
2. Pengertian Penelitian Sanad dan
Matan
Penelitian sanad dan matan lebih
dikenal dengan istilah kritik sanad dan matan. Penelitian ini bukan berarti
tidak mempercayai semua hadits Nabi, akan tetapi hal seperti ini hanya tertuju
pada hadits ahad bukan hadits mutawatir. Selain itu juga merupakan
kehati-hatian kaum muslimin dalam menjaga hadits Nabi di samping berkeinginan
untuk mengikuti sunnah Nabi dengan sebenar-benarnya.
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa
hadits Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari
para perawarinya selama kurun waktu yang panjang, hal ini memungkinkan terjadi
kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat dari peristiwa ini ada
sebagian kaum muslimin yang bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti
kualitas hadits, upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu
benar-benar dari Nabi.
Sehubungan dengan hal itu, mereka
akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan
penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah
nama perawi dan lambang-lambang periwayatan hadits, misalnya; sami’tu,
akhbarāni, ‘an dan annă. Menambahkan hal itu, menurut Bustamin, sanad harus
mempunyai ketersambungan, yaitu perawi harus berkualitas siqah (‘adil dan
dhabit); dan masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan,
diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbarani, qala lana, dhakarani
Untuk meneliti sanad diperlukan
pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pelbagai pribadi yang
membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda.
Matan hadits yang sudah shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab, boleh jadi
dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak
bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit)..
3. Latar belakang penelitian Sanad
dan Matan
Sebenarnya metode yang mirip dengan
sanad sudah tampak sebelum Islam lahir, akan tetapi metode tersebut masih
tampak samar-samar. Sebagaimana dalam penukilan syair-syair jahiliyah, metode
sanad sudah digunakan. Namun formulasi metode sanad ini baru tampak jelas dalam
sistem periwayatan hadits saja. Pemakaian sanad dalam literatur hadits telah
digunakan oleh sahabat sejak Nabi masih hidup. Mereka yang hadir dalam majelis
pengajian Nabi memberitahukan sahabat lain yang tidak hadir tentang hal yang
mereka dengar.
Ulama’ sangat besar perhatiannya
terhadap sanad dan matan hadits. Hal ini terbukti dengan adanya tiga alasan.
Pertama, pernyataan-pernyataan ulama’ yang menyatakan bahwa sanad merupakan
bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits. Kedua, banyaknya
karya tulis ulama’ yang berkenaan dengan sanad hadits. Ketiga, dalam praktek,
apabila mereka menghadapi suatu hadits, maka sanad hadits merupakan salah satu
bagian yang mendapat perhatian khusus.
Pada dasarnya ada empat faktor yang
mendorong ulama’ hadits mengadakan penelitian hadits yaitu dari segi sanad dan
matan. Yaitu:
a)
Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
Dalam sejarah, hampir seluruh ulama
dan umat Islam menyepakati hadits sebagai sumber ajaran Islam. Hanya ada
sekelompok kecil pada masa klasik yang menolaknya, inilah yang disebut Inkar
al-sunnah. Hal itu dikarenakan mereka kurang paham tentang pelbagai hal
mengenai ilmu hadits. Namun, pada masanya juga Imam Syafi’i memberikan bantahan
lewat argumen-argumennya dalam kitab al-Umm. Karenanya, Imam Syafi’i kemudian
diberi julukan sebagai Nashir al-Sunnah (pembela Sunnah).
Semenjak abad ketiga, yaitu setelah
Imam Syafi’i memberikan argumen-argumennya, sampai abad keempat belas hijriyah,
tidak ada cacatan sejarah yang menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam
terdapat pemikiran penolakan Sunnah. Namun, baru pada abad keempat belas
Hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali, dan kali ini dengan bentuk yang
berbeda dari Inkar al-Sunnah klasik dan lebih berbahaya. Inkar al-Sunnah Modern
yang muncul di Cairo, Mesir itu disebabkan adanya pengaruh pemikiran
kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam, tokoh-tokohnya mengaku sebagai
mujtahid dan pembaharu, dan meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi
Sunnah dalam Islam, mereka tetap bertahan pada pendiriannya.
Namun, kiranya Allah berkehendak
lain. Apabila Imam Syafi’i berhasil melumpuhkan Inkar al-Sunnah klasik, maka
munculnya para pakar Hadits kontemporer seperti Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i,
Prof. Dr. M.M. A’zami dan lain-lain telah membikin argumentasi Inkar al-Sunnah
modern hancur berkeping-keping. Sehingga hadits dapat dilestarikan sampai
sekarang
b) Hadits tidak
seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
Tidak ada perselisihan bahwa
Al-Qur’an telah mendapat perhatian khusus dari Rasul sehingga membuatnya
terpelihara dalam dada, tertera di lembaran-lembaran, pelepah korma, dll.
Tetapi Sunnah tidaklah demikian, meskipun merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Sunnah tidak mendapat perhatian khusus dalam masalah kodifikasi. Mungkin
penyebabnya adalah bahwa Rasul hidup bersama sahabat selama dua puluh tiga
tahun, sehingga penulisan hadits adalah sulit dilakukan dari segi masalah
lokasi. Selain itu juga dikhawatirkan silapnya sebagian sabda Nabi yang singkat
dan padat dengan Al-Qur’an karena alpa dan tanpa sengaja. Dengan begitu, kita
mengetahui rahasia dilarangnya menulis Sunnah yang terdapat dalam hadits Muslim
“Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Qur’an, maka barang siapa menulis
sesuatu hendaklah ia menghapusnya.”
Meski begitu, sudah dipastikan bahwa
sebagian sahabat memiliki lembaran-lembaran tertulis yang di dalamnya mencatat
sebagian apa yang mereka dengar dari Nabi, meski hanya dikenal dengan istilah
shahifah dan nuskhah. Namun, ada sementara sahabat yang sudah memberikan nama
tertentu bagi karyanya, seperti Abdullah Amr ibn al-Ash (7 SH-65 H). Beliau
memberikan nama al-Shadiqah.
Para Ulama’ berselisih pendapat
bagaimana menggabungkan hadits nabi yang melarang penulisan hadits, sedangkan
menurut sejarah tidak sedikit sahabat yang menulis dan menyimpannya. Ada yang
berpendapat bahwa larangan itu terhapus (mansukh). Ada pula yang berpendapat
bahwa larangan menulis hanya untuk mereka yang tidak aman dari membuat
kesalahan dan mencampuradukkan antara sunnah dan al-Qur’an. Sedangkan Prof. Dr.
Musthafa al-Siba’i, seorang tokoh hadits yang energik dari Damaskus, Syiria,
berpendapat bahwa larangan yang dimaksud adalah penulisan secara resmi
sebagaimana dicatatnya al-Qur’an. Sedangkan izin penulisan adalah kelonggaran
mencatat sunnah dalam keadaan dan keperluan khusus, atau kelonggaran bagi
sahabat yang menulis untuk dirinya sendiri.
c) Munculnya pemalsuan Hadits
Pada zaman Nabi, belum terdapat
bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan hadits. Menurut bukti yang
ada, pemalsuan hadits mulai ada pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib, walau
begitu tidak menutup kemungkinan pemalsuan hadits sudah berlangsung pada masa
sebelumnya.
Berdasarkan sejarah, pemalsuan
hadits tidak hanya dilakukan oleh orang Islam saja tetapi juga oleh orang-orang
non-Islam. Orang-orang non-Islam membuat hadits palsu karena ingin
menghancurkan Islam dari dalam. Sementara orang-orang Islam tertentu membuat
hadits palsu karena didorong beberapa tujuan. Seperti Kaum Syiah yang membuat
hadits palsu tentang kemuliaan sahabat Ali. Kaum pendukung Muawiyah pun tidak
mau kalah, mereka membuat hadits palsu untuk memuliakan pemimpinnya.
Dalam hal ini harus dinyatakan bahwa
apapun latar belakang dan tujuan pemalsuan hadits, hal seperti itu tetaplah
perbuatan tercela dan menyesatkan. Bahkan Nabi sendiri mengancam neraka bagi
pemalsu sabda atas nama Nabi
d) Proses penghimpunan hadits
Pada zaman sahabat Nabi dan Tabi’in,
khususnya sebelum Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan untuk menghimpun
hadits, kegiatan penulisan hadits telah dilakukan banyak orang. Akan tetapi
hanya untuk kepentingan sendiri karena masih berlangsung perbedaan pendapat
tentang boleh tidaknya penulisan hadits.
Keinginan Khalifah Umar ibn Abdul
Aziz (memerintah 99-101H) untuk menghimpun tersebut diwujudkan dalam bentuk
surat perintah yang dikirim ke seluruh pejabat dan Ulama’ di pelbagai daerah
pada Akhir tahun 100 H. sayang sekali sebelum selesai penghimpunan, Khalifah
telah meninggal dunia. Meski demikian, kegiatan tersebut masih berjalan terus.
Sekitar pertengahan abad kedua
Hijriyah, telah muncul pelbagai kitab himpunan hadits yang tidak hanya memuat
matan saja tetapi juga sanad. Ada yang berkualitas shahih dan juga ada yang
berkualitas tidak shahih. Ulama’ berikutnya kemudian menyusun kitab hadits yang
khusus menghimpun hadits-hadits shahih.
Masih banyak kitab hadits yang
disusun oleh ulama’ pada abad ke III H. tidak sedikit juga ulama’ sesudah abad
III H yang menyusun hadits yang kebanyakan berupa ringkasan. Dengan demikian
puncak penghimpunan hadits terjadi pada abad III H. Setelah itu, penghimpunan
hadits hanya untuk melengkapi, menggabungkan dan sebagainya.
4. Tujuan Penelitian Hadits
Tujuan pokok penelitian hadits baik
dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang
diteliti. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan
sebagai hujjah.
Pernyataan ulama’ tentang tidak
perlunya penelitian lebih lanjut pada hadits mutawatir tidaklah berarti bahwa
terhadap mutawatir tidak dilakukan penelitian. Penelitian hadits mutawatir
tetap saja dilakukan, hanya saja tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui
kualitas sanad dan matan, melainkan untuk mengetahui apakah benar hadits
tersebut berstatus mutawatir.
Penelitian ulang terhadap hadits
yang telah pernah dinilai oleh Ulama’ tetap memiliki manfaat mengingat ulama’
dahulu pun manusia yang kadang salah dan benar. Penelitian merupakan salah satu
upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian dahulu,
juga untuk menghindar dari penggunaan dalil hadits yang tidak memenuhi syarat
dari segi kehujjahan.
5. Kaidah-kaidah penelitian Hadits
Dalam kegiatan penelitian hadits ada
beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti hadits, yaitu
sebagai berikut:
a) Takhrijul Hadits
Langkah awal yang dilakukan para
ahli Hadits dalam kegiatan penelitian hadits adalah Takhrijul hadits. Banyak
sekali istilah yang dipakai ulama’ hadits tentang pengertian Takhrijul hadits.
Namun, pengertian yang dimaksud dalam kegiatan penelitian hadits lebih lanjut
ialah “penelusuran atau penelitian hadits pada pelbagai kitab sebagai sumber
asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara
lengkap matan dan sanad yang bersangkutan”.
Tanpa dilakukan kegiatan takhrijul
hadits terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadits yang
akan diteliti. Hal inilah yang menjadikannya sangat penting bagi seorang
peneliti hadits. Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya
kegiatan Takhrijul hadits. Yaitu:
- Untuk mengetahui asal-usul riwayat
hadits, sehingga mudah diketahui status dan kualitasnya.
- Untuk mengetahui seluruh riwayat
bagi hadits, sehingga dapat ditentukan sanad yang berkualitas dlaif dan yang
berkualitas shahih.
- Untuk mengetahui ada atau tidak
adanya Syahid dan Mutabi’ pada sanad hadits, Syahid adalah periwayat yang
berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. Sedangkan
Mutabi’ adalah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan
sahabat Nabi.
Dalam buku Cara Praktis Mencari
Hadits dikemukakan bahwa metode takhrijul hadits ada dua macam, yaitu:
- ØMetode Takhrijul Hadits bil Lafz
Metode ini adalah penelusuran hadits
melalui lafadz. Kitab kamus yang agak lengkap untuk kepentingan ini adalah
adalah kitab susunan Dr.A.J. Wensinck dkk. Yang diterjemahkan ke bahasa arab
dengan judul المعجم المفهرس لالفاظ الحديث النبوي
- ØMetode Takhrijul Hadits bil maudlu’
Metode ini adalah penelusuran hadits
melalui topik masalah. Kitab kamus untuk kepentingan ini adalah مفتاح كنوز السنة yang juga susunan dari Dr.A.J. Wensinck
dkk.
b) Penelitian Sanad Hadits
Setelah melakukan takhrijul hadits,
maka seluruh sanad hadits dicatat dan dihimpun untuk dilakukan penelitian
dengan urutan sebagai berikut:
1. Al-i’tibar
Al-I’tibar yaitu menyertakan
sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian
sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan
sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang
lain ataukah tidak ada untuk bagian dari sanad hadits di maksud. Tujuan
diadakannya Al-I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya
dilihat dari ada atau tidaknya periwayatan yang berstatus mutabi’ (periwayatan
yang berstatus pendukung yang bukan sahabat Nabi), dan syahid (periwayatan yang
berstatus sebagai dan untuk Nabi).
Untuk mempermudah proses al-i’tibar,
diperlukan pembuatan skema seluruh sanad hadits yang diteliti. Garis-garis
sanad harus jelas, seperti halnya nama periwayat agar tidak mengalami kesulitan
dalam penelitian. Sebagai contoh hadits yang berbunyi من
رأى منكم منكرا. Berikut ini dikemukakan riwayat hadits tersebut yang
mukharrijnya Muslim:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة, حدثنا
وكيع عن سفيان.ح. و حدثنا محمد المثنى. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة, كلاهما عن
قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب وهذا حديث أبى بكر. قال: أول من بدأ بالخطبة يوم
العيد قبل الصلاة مروان. فقام اليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك ما
هنالك. فقال أبو سعيد:
أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت رسول الله ص.م. يقول: من رأى منكم منكرا فليغير
بيده فان لم يستطع فبلسانه, فان لم يستطع فبقلبه, وذالك أضعف الايمان. (أخرجه مسلم)
Marwan bin Hakam dalam riwayat di atas bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang dia lakukan yaitu mendahulukan khutbah dalam shalat hari raya dengan alasan tahun sebelumnya bila shalat jamaah selesai dan diikuti khutbah, ternyata banyak anggota jamaah yang meninggalkan tempat shalat. Tindakan Marwan ditegur oleh salah seorang yang hadir. Di tempat itu hadir pula Abu Said al-Khudri yang membenarkan sikap orang yang menegur. Abu Said menilai tindakan Marwan itu merupakan perbuatan munkar. Karenanya, ia menyampaikan hadits Nabi di atas yang berisi perintah untuk mengatasi kemungkaran. Dengan demikian, kasus Marwan bukanlah sabab al-wurud dari sabda Nabi tersebut karena kasus itu tidak termasuk matan
Marwan bin Hakam dalam riwayat di atas bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang dia lakukan yaitu mendahulukan khutbah dalam shalat hari raya dengan alasan tahun sebelumnya bila shalat jamaah selesai dan diikuti khutbah, ternyata banyak anggota jamaah yang meninggalkan tempat shalat. Tindakan Marwan ditegur oleh salah seorang yang hadir. Di tempat itu hadir pula Abu Said al-Khudri yang membenarkan sikap orang yang menegur. Abu Said menilai tindakan Marwan itu merupakan perbuatan munkar. Karenanya, ia menyampaikan hadits Nabi di atas yang berisi perintah untuk mengatasi kemungkaran. Dengan demikian, kasus Marwan bukanlah sabab al-wurud dari sabda Nabi tersebut karena kasus itu tidak termasuk matan
Dalam mengemukakan riwayat, Imam
Muslim menyandarkan riwayatnya kepada dua periwayat, yakni Abu Bakar bin Abi
Syaibah dan Muhammad bin al-Mutsanna. Keduanya beliau sandari sebagai sanad
pertama. Dengan demikian, sanad terakhir adalah Abu Said al-Khudri.
Huruf ح
yang terletak antara nama Sufyan dan kata wa haddasana adalah singkatan dari
kata at-tahwil min isnad ila isnad, artinya: perpindahan dari sanad yang satu
ke sanad yang lain. Dengan demikian sanad Muslim dalam riwayat hadits di atas
ada dua macam.
2. Meneliti pribadi periwayat dan
metode periwayatannya
Dalam meneliti pribadi periwayat,
Ulama’ hadits sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti untuk dapat
diketahui riwayat hadits bisa dijadikan hujjah atau tidak. Yaitu keadilan dan
kedhabitannya. Jika kedua sifat itu telah dimiliki maka periwayat dinyatakan
bersifat Siqah.
a.
adil (kualitas pribadi periwayat)
Dalam memberikan pengertian istilah
adil, ulama’ berbeda pendapat. Dari perbedaan itu dapat dihimpun empat butir
kriteria untuk seorang yang adil. Yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukallaf; (3)
melaksanakan ketentuan agama; (4) memelihara muru’ah.
Pada kriteria melaksanakan ketentuan
agama, Allah memerintahkan dalam Surat al-Hujurat: 6 agar berita yang berasal
dari orang fasiq diteliti kebenarannya. Maka berita dari orang yang fasiq yang
berkenaan dengan sumber ajaran Islam, dalam hal ini hadits Nabi, harus ditolak.
Karena orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama tidak merasa berat membuat
berita bohong.
Pada kriteria keempat, Ibnu Qudamah
mengartikan muru’ah dengan rasa malu yang merupakan salah satu tata nilai yang
berlaku di masyarakat, berarti orang yang mengabaikan muru’ah akan
mengakibatkan dia tidak dihargai oleh masyarakat. Sehingga cenderung melakukan
perbuatan kompensasi untuk mencari perhatian masyarakat salah satunya adalah
menyampaikan berita bohong.
b. dhabith (kapasitas intelektual)
Penerimaan hadits pada masa Nabi
ialah melalui cara al-sama’. Sedangkan orang yang menyampaikan hadits harus
hafal terlebih dahulu dan mampu menyampaikannya kepada orang lain di samping
harus memahami isi hadits tersebut. Dengan demikian, kapasitas intelektual
seorang periwayat sangat ditekankan dalam periwayatan hadits.
Dalam metode periwayatan, ada
beragam cara yang dipakai, diantaranya:
a. سمعت
d. أخبرنا
b. حدثنا
e. قال لن
c. حدثنى
f. ذكرنا
Bobot kualitas kata-kata ini tidak
disepakati oleh ulama’. Menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H), kata yang
tertinggi adalah سمعت kemudian حدثنا dan حدثنى
. Alasannya kata سمعت menunjukkan kepastian
periwayat mendengar langsung hadits. Sedangkan حدثنا
dan حدثنى masih bersifat umum; ada kemungkinan
periwayat tidak mendengar langsung.
Adapun kata حدثنى lebih tinggi daripada kata حدثنا
dan أخبرنا. Karena حدثنى
mengandung unsur kesengajaan guru menyampaikan hadits kepada penerima riwayat.
Sedang dua kata lainnya tidak demikian.
Kegiatan penelitian hadits masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syudzudz dan illah belum dilaksanakan dengan cermat.
Kegiatan penelitian hadits masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syudzudz dan illah belum dilaksanakan dengan cermat.
1.
meneliti syudzudz
Menurut Imam Syafi’i, suatu sanad
sangat memungkinkan mengandung syudzudz bila sanad yang diteliti lebih dari
satu buah. Hadits yang memiliki satu sanad saja, tidak dikenal adanya syudzudz.
Salah satu langkahnya adalah membandingkan (Muqaranah) semua sanad yang ada
untuk matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan.
2.
meneliti illah
Illah yang disebutkan dalam salah
satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits ialah illah yang yang untuk
mengetahuinya diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab hadits yang
bersangkutan tampak sanadnya berkualitas shahih. Cara menelitinya antara lain
dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang semakna.
Al-Khatib al-Baghdadiy memberikan
langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah: (1) seluruh sanad yang semakna
dihimpun dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memang memiliki
mutabi’ataupun syahid; (2) seluruh periwayat dalam pelbagai sanad diteliti
berdasarkan kritik yang berlaku. Sesudah itu, kemudian sanad dibandingkan
dengan sanad lain. Maka akan ditemukan, apakah sanad hadits tersebut mengandung
illah ataukah tidak.
3.
Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Isi dari hadits harus berisi natijah
(konklusi), kemudian dalam natijah harus disertai argumen yang jelas. Semua
argumen dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau dha’if.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau dha’if.
c) Penelitian Matan Hadits
Kemudian untuk meneliti matan hadits
juga harus melalui beberapa kegiatan diantaranya:
1. Meneliti matan dengan melihat
kualitas sanadnya
Sebelum meneliti matan terlebih
dahulu harus meneliti sanad. Ini tidak berarti bahwa sanad lebih penting
daripada matan. Bagi ulama’ hadits keduanya sama-sama penting, hanya saja
penelitian matan mempunyai arti apabila sanad hadits sudah jelas memenuhi
syarat. Di samping itu setiap matan harus memiliki sanad, karena tanpa sanad,
maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai sabda Nabi.
Menurut ulama’ hadits, suatu hadits
barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan matan hadits sama-sama
shahih. Dengan demikian, hadits yang sanadnya sahih dan matannya tidak shahih
atau sebaliknya, tidak dinyatakan sebagai hadits shahih.
2. Meneliti lafadz matan yang
semakna
Salah satu sebab terjadinya
perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna ialah karena dalam periwayat
hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na). Menurut
ulama’ hadits, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna,
asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi.
Misalnya, hadits tentang niat yang berbeda-beda redaksi matannya.
3. Meneliti kandungan matan
Kandungan dalam beberapa matan
terkadang sejalan dan juga ada yang bertentangan. Pada matan yang sejalan, maka
matan itu perlu diteliti sanad-nya. Jika memenuhi syarat, maka kegiatan
muqaranah kandungan matan dilakukan. Apabila kandungan matan yang
diperbandingan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian
matan berakhir.
Apabila kandungan matan ternyata
bertentangan dengan matan yang kuat, maka penelitian harus dilanjutkan. Ulama’
berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Namun, dilihat dari kemungkinan masalah
yang diselesaikan, empat tahap yang diusung Ibnu Hajar al-Asqalani dan
lain-lain tampaknya dipandang lebih akomodatif. Yaitu, (1) at-taufiq (al-jam’u
atau al-talfiq); (2) an-nasikh wal-mansukh; (3) at-tarjih; dan (4) at-tauqif
(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau
menjernihkannya).
4. Menyimpulkan hasil penelitian
matan
Setelah semua langkah telah
dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian
matan.Apabila dalam penelitian matan ternyata shahih dan sanadnya juga shahih,
maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah shahih. Apabila matan dan
sanadnya berkualitas dhaif, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut
adalah dhaif Sedangkan kalau seandainya matan dan sanadnya berbeda kualitasnya,
maka perbedaan itu harus dijelaskan.
6. Ilmu-Ilmu bantu penelitian Hadits
Dalam penelitian sebuah hadits tidak
hanya didasarkan pada argumen saja, tetapi ada beberapa ilmu yang dapat
membantu dalam mencapai kesuksesan hadits. Ilmu yang berkenaan dengan sanad
adalah sebagai berikut:
a. Ilmu Rijalul
Hadits
Yaitu ilmu yang secara mengelupas
tentang tokoh/orang yang membawa hadits, semenjak dari Nabi sampai dengan
periwayat terakhir (penulis hadits). Pembahasan yang terpenting adalah sejarah
kehidupan para tokoh tersebut meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri
asal, negeri mana saja yang mereka singgahi dalam jangka waktu lama, kepada
siapa saja mereka menerima hadits, dan kepada siapa menyampaikannya.
Ada beberapa istilah dalam penyebutan ilmu ini. Ada yang menyebutnya ilmu tarikh, ada yang menyebut tarikh ar-ruwat dan ada pula yang menyebut ilmu tarikh ar-ruwat.
Ada beberapa istilah dalam penyebutan ilmu ini. Ada yang menyebutnya ilmu tarikh, ada yang menyebut tarikh ar-ruwat dan ada pula yang menyebut ilmu tarikh ar-ruwat.
b. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Yaitu ilmu yang membahas keadaan
para rawi dari diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Kritik yang
dikemukakan oleh ulama’ hadits bukan hanya hal-hal yang terpuji saja, tetapi
juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal semacam ini bukan untuk
menjelekkan mereka, melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya
dengan dapat diterima atau tidak hadits yang mereka sampaikan.
Sedang ilmu yang berkenaan dengan matan adalah sebagai berikut:
Sedang ilmu yang berkenaan dengan matan adalah sebagai berikut:
a. Ilmu
Gharibul Hadits
Dalam memahami makna matan hadits,
terkadang kita menjumpai susunan kalimat yang sulit dipaham. Hal ini bukan
disebabkan tidak teraturnya kalimat dan tidak fasihnya. Akan tetapi lebih
merupakan keindahan seni sastra.Terdorong alasan tersebut di atas, para ulama’
hadits menyusun suatu ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu gharibul hadits.
Ibnu Shalah menta’rif ilmu gharibul Hadits sebagi berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipaham, karena jarang sekali digunakan”. Seperti lafadz الجار أحق بسبقه yang diartikan “Tetangga itu lebih berhak untuk didekati”, dengan lafadz Sabqu diartikan al-laziq (dekat).
Ibnu Shalah menta’rif ilmu gharibul Hadits sebagi berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipaham, karena jarang sekali digunakan”. Seperti lafadz الجار أحق بسبقه yang diartikan “Tetangga itu lebih berhak untuk didekati”, dengan lafadz Sabqu diartikan al-laziq (dekat).
b. Ilmu Mukhtalif
al-Hadits
Yang disebut ilmu Mukhtalif
al-Hadits adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling
bertentangan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan
keduanya, sebagaimana membahas hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya,
untuk mengahilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya”. Usaha untuk
mengumpulkan dua hadits yang berlawanan maknanya itu disebut talfiq al-Hadits.
Jika dua hadits itu dapat ditalfiqkan maknanya, maka tidak dibenarkan hanya
diamalkan salah satu, sedang yang lain ditinggalkan. Cara mentalfiqkan ada
kalanya dengan mentakhshishkan hadits yang umum, mentaqyidkan hadits yang
mutlaq dan adakalanya memilih sanadnya yang lebih kuat.
c. Ilmu
Nasikh Hadits wa al-Mansukh
Dalam penelitian matan, seorang
peneliti akan menemukan hadits-hadits yang bertentangan. Solusi yang dilakukan
untuk mengatasinya adalah dengan membahasnya melalui ilmu Nasikh Hadits wa
al-Mansukh. Pengertian dari ilmu ini adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits
yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi
hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh terhadap hukum
yang lain, karena ia sebagai mansukh. Karenanya, hadits yang terakhir adalah
sebagai nasikh”. Jalan untuk mengetahui nasakh adalah, (1) penjelasan dari nash
syar’i, (2) penjelasan dari shahabat, (3) dengan mengetahui tarikh keluarnya
hadits.
d. Ilmu Asbab
al-Wurud
Mengetahui sebab-sebab lahirnya
hadits adalah bagian sangat penting dalam mempelajari hadits. Karena hal ini
dapat memahami makna hadits secara sempurna.
Yang dimaksud ilmu asbab al-wurud ialah “ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits.”
Dalam mempelajari ilmu ini kita dapat mengambil beberapa faedah. Antara lain: (1) memahami dan menafsirkan hadits, (2) mengambil kandungan isi dari nash yang dilukiskan secara umum, (3) mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat, (4) mentakhsis hukum.
Yang dimaksud ilmu asbab al-wurud ialah “ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits.”
Dalam mempelajari ilmu ini kita dapat mengambil beberapa faedah. Antara lain: (1) memahami dan menafsirkan hadits, (2) mengambil kandungan isi dari nash yang dilukiskan secara umum, (3) mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat, (4) mentakhsis hukum.
e. Ilmu Ilal
al-Hadits
Dalam studi hadits istilah illat
dapat diartikan sebagai suatu sebab yang tersembunyi yang dapat membuat cacat
suatu hadits yang nampaknya tiada bercacat. Demikian menurut Muhadditsun.
Dengan mengetahui arti illat, maka dapatlah ditetapkan ta’rif ilmu illal al-Hadits sebagai berikut:
Dengan mengetahui arti illat, maka dapatlah ditetapkan ta’rif ilmu illal al-Hadits sebagai berikut:
“Ilmu yang membahas tentang
sebab-sebab yang samar-samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu
hadits. Seperti memutthasilkan (menganggap bersambung) sanad atau hadits yang
sebenarnya sanad itu munqathi’ (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai pada
Nabi) berita yang mauquf (yang berakhir pada shahabat), menyisipkan suatu
hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya atau lain
sebagainya.”
Dengan demikian, dapat diketahui betapa sulitnya meneliti apakah sanad suatu hadits itu muttashil, berita yang disampaikan oleh sahabat itu benar-benar dari Nabi, jika saja seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang banyak tentang biografi para perawi. Apabila dalam suatu hadits ditemukan illat, menjadilah hadits tersebut hadits dlaif. Hal demikian menyebabkan tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian, dapat diketahui betapa sulitnya meneliti apakah sanad suatu hadits itu muttashil, berita yang disampaikan oleh sahabat itu benar-benar dari Nabi, jika saja seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang banyak tentang biografi para perawi. Apabila dalam suatu hadits ditemukan illat, menjadilah hadits tersebut hadits dlaif. Hal demikian menyebabkan tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kritik hadits (Naqd al-Hadits) atau
dengan sebutan penelitian hadits adalah upaya untuk menseleksi kehadiran
hadits, memberikan penilaian dan membuktikan keautentikan (keshahihan) sebuah
hadits. Upaya ini juga berarti mendudukan hadits sebagai hal yang sangat
penting dalam sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, sebagai bukti
kehati-hatian kita. Selain yang telah tersebut di atas, upaya ini juga
dilakukan untuk memahami hadits agar dapat mengaplikasikan isi dari hadits
tesebut dengan tepat. Jadi, kita akan lebih yakin akan kebenaran hadits karena
adanya proses penelitian yang ketat dari para sahabat dan para ulama’ hadits
dan metode pemahaman yang benar.
Upaya ini mempunyai metode tersendiri dan juga ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam proses penelitiannya. Ilmu yang berkenaan dengan sanad antara lain Ilmu Rijalul Hadits dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, sedang untuk meneliti matan dibutuhkan Ilmu Gharibul Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh, Ilmu Asbab al-Wurud, Ilmu Ilal al-Hadits.
Dengan adanya ilmu-ilmu tersebut kegiatan penelitian akan lebih mudah dan terbantu. Sehingga pada akhirnya kita akan mendapat hasil yang memuaskan yaitu hadits yang berkualitas shahih
Upaya ini mempunyai metode tersendiri dan juga ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam proses penelitiannya. Ilmu yang berkenaan dengan sanad antara lain Ilmu Rijalul Hadits dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, sedang untuk meneliti matan dibutuhkan Ilmu Gharibul Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh, Ilmu Asbab al-Wurud, Ilmu Ilal al-Hadits.
Dengan adanya ilmu-ilmu tersebut kegiatan penelitian akan lebih mudah dan terbantu. Sehingga pada akhirnya kita akan mendapat hasil yang memuaskan yaitu hadits yang berkualitas shahih
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul
al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al-Fikr, 1989.
Al-Siba’i, Musthafa, Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Majid dari “al-Sunnah
wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
Bustamin, Metodologi Kritik Hadits,
Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih, Cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2001.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih, Cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2001.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan
Sanad Hadits, Jakarta: PT Karya Unipress, 1995.
Metodologi Penelitian Hadits Nabi,
Jakarta: PT Karya Unipress, 1992.
Pengantar Ilmu Hadits, Bandung:
Angkasa, 1991.
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalah
Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995, Cet: VIII.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah
Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.